Kebudayaan Rambu Solo – Tana Toraja

Gambar 1. Rumah adat Tana Toraja

Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan 119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. “Ibukota” Tator yakni kota kecil Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar di Sulsel yakni sungai Sa’dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa  Sa’dan. Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek , seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek Mappapana (Toraja Barat).

Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah :
– Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa

– Sebelah Timur : Kabupaten Luwu

– Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang

– Sebelah Barat : Kabupaten Polmas

Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun.https://wikishare27.wordpress.com/wp-admin/post.php?post=331&action=edit&message=1

Tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata paling popular di Provinsi Sulawesi Selatan. Di Tana Toraja Anda menikmati kebudayaan khas Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli. Ada banyak macam kebudayaan yang menjadi cirri khas dari kota toraja, salah satunya adalah RAMBU SOLO

Gambar 2. Upacara Adat Rambu Solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.

Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi( Ma’tinggoro Tedong) . Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.

Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).

Gambar 3. Ma’pasilaga Tedong

Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong.

Gambar 4. Ma’tinggoro Tedong Dalam Upacara adat Rambu Solo

Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.

Selain Rambu Solo, ditanah toraja masih banyak kebudayaan yang menarik dan unik, diantaranya adalah rumah adat Tongkonan, upacara Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira, Batu Tumonga, Tarian Toraja, alat musik Toraja dan Ke’te Kesu.

Terimakash Telah berkunjung dan Membaca Artikel Mengenai Kebudayaan Rambu Solo.

Leave a comment